Bekasi (SL) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengidentifikasi lebih dari 20 anggota DPRD Kabupaten Bekasi diduga mendapatkan biaya plesiran ke Thailand.
Dugaan plesiran ini muncul dalam penyidikan kasus dugaan suap pada proses perizinan proyek pembangunan Meikarta di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. “Saat ini teridentifikasi lebih dari 20 orang anggota DPRD Kabupaten Bekasi yang mendapatkan pembiayaan jalan-jalan ke Thailand. Ini terus kami klarifikasi dan kami perdalam,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Menurut Febri, selain anggota DPRD, sejumlah staf Sekretaris Dewan DPRD Kabupaten Bekasi diduga juga ikut plesiran ke Thailand. Saat ini, KPK mendalami bagaimana proses pembiayaan perjalanan tersebut.
Ia menjelaskan, waktu plesiran terjadi pada 2018. Mereka diduga mendapat paket wisata 3 hari 2 malam. Selain itu, mereka juga berkunjung ke sejumlah lokasi wisata di Thailand. “Spesifiknya belum bisa saya sampaikan tapi proses jalan-jalan itu selain terkait proses izin proyek Meikarta, tentu menggunakan jasa pihak travel agent untuk perjalanan,” papar Febri.
Febri juga mengungkapkan bahwa sejumlah anggota DPRD yang diperiksa KPK ada yang bersikap kooperatif. “Beberapa mengakui perbuatannya, ada yang sudah mengembalikan uang, ada yang berencana kembalikan uang. Kami hargai sikap kooperatif tersebut. Justru kalau berikan keterangan tidak benar ada ancaman pidana sendiri,” kata dia.
Febri enggan berkomentar lebih jauh terkait proses lebih lanjut atas temuan tersebut. Sebab, KPK akan mencermati terlebih dulu temuan tersebut. “Bahwa nanti ada perkembangan informasi, perkembangan data, atau pelaku-pelaku lain itu nanti akan ditentukan berdasarkan misalnya kalau pengembangan di persidangan itu berdasarkan analisis jaksa, dan rekomendasinya pada pimpinan itu dicermati lebih lanjut,” kata Febri.
Sebelumnya, Febri menyebutkan, KPK terus mendalami dugaan pembiayaan wisata luar negeri tersebut. KPK juga sudah memiliki bukti-bukti yang memperkuat dugaan tersebut. “Jadi itu yang akan ditelusuri lebih lanjut tapi bukan hanya anggota DPRD tapi juga keluarga dibawa ke sana. Kami tentu juga mendalami apa saja yang dilakukan selama di Thailand tersebut misalnya,” kata Febri.
KPK juga menelusuri dugaan keterkaitan pembiayaan wisata tersebut dengan kepentingan membahas revisi aturan tata ruang di Kabupaten Bekasi. Sebab, KPK menemukan indikasi perizinan proyek Meikarta sudah bermasalah sejak awal.
Salah satu indikasinya, lokasi peruntukan proyek saat ini yang tidak memungkinkan untuk membangun seluruh proyek seluas 500 hektar tersebut. Febri mengatakan, apabila situasi itu dipaksakan, akan melanggar aturan tata ruang.
Oleh karena itu, situasi tersebut mendorong adanya dugaan pihak-pihak tertentu berupaya melakukan pendekatan dan mendorong perubahan aturan tata ruang tersebut. “Kami dalami bagaimana proses pembahasan rencana detil tata ruang, siapa yang berkepentingan untuk mengubah tata ruang dan juga dugaan aliran dana pada sejumlah anggota DPRD Bekasi,” kata Febri.
Terseret Nama Sekda Jabar
Sebelumnya, nama Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Jabar Iwa Karniwa disebut-sebut dalam sidang kasus suap perizinan Meikarta. Ia disebut meminta Rp 1 miliar untuk kepentingan maju dalam Pemilihan Gubernur Jabar.
Hal tersebut terungkap dalam sidang suap perizinan proyek Meikarta dengan agenda sidang saksi di Pengadilan Tipikor Bandung, Kota Bandung, Senin (21/1/2019). “Pak Hendry Lincoln (Sekdis Dispora) menyampaikan ke saya, Sekda Provinsi dalam rangka bakal calon gubernur meminta untuk proses RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) ini sebesar Rp 1 miliar,” kata Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Neneng Rahmi dalam kesaksiannya.
Dikatakan, permintaan uang Rp 1 miliar itu muncul dalam sebuah pertemuan di rest area, namun kilometer berapa tepatnya, Neneng mengaku lupa. Pertemuan ini, menurutnya, membahas percepatan RDTR tersebut. Pasalnya, Bupati Bekasi Neneng Hasanah sendiri memintanya untuk mengurus soal RDTR ke Pemerintah Provinsi Jabar.
Ketika jaksa bertanya apakah permintaan itu direalisasikan, Neneng mengaku kemudian berkomunikasi dengan Sekdis Dispora Hendry Lincoln yang mengarahkannya untuk meminta ke pengembang Meikarta. “Pak Hendry menyampaikan ke saya, minta saja ke Lippo. Akhirnya dari sisa pemberian pertama dari Pak Jamal (Kadis PUPR Bekasi) Rp 400 juta, terus ada pemberian lagi waktu itu sebesar Rp 1 miliar melalui Pak Satriadi (PNS Bappeda Bekasi) total di saya Rp 1,4 miliar,” katanya.
“Rp 1 miliar sudah clear diserahkan ke DPRD Kabupaten Bekasi, sehingga sisa di saya Rp 400 juta dan saya tinggal memintakan Rp 500 juta. Jadi total Rp 900 juta karena Pak Hendry sarankan untuk tidak dibayarkan dulu seluruhnya,” katanya.
Neneng Rahmi mengaku memberikan uang itu ke Iwa melalui Hendry Lincoln, anggota DPRD Bekasi Sulaiman, dan anggota DPRD Jabar Waras Warsisto. “Teknisnya (pemberian) dua tahap, Pemberian pertama saya tahu, saya serahkan ke Henry dan setelahnya saya tidak tahu. Tambah lagi pertemuan karena diajak Pak Henry untuk bertemu Pak Iwa, yang dimediasi Pak Sulaeman dan Pak Waras,” ujarnya. (TBN)