Jakarta (SL)-Nilai tukar rupiah terhadap satu dolar Amerika Serikat, hingga berita ini ditulis, telah mencapai Rp14.043. Berbagai pihak memiliki pendapat berbeda terkait faktor yang menyebabkan melemahnya nilai tukar mata uang Indonesia tersebut, Rabu (9/5)
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Agusman Zainal, mengungkapkan gejolak nilai tukar rupiah terjadi karena pelaku pasar mengantisipasi kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika. Membaiknya perekonomian Amerika kerap disebut sebagai penyebab melemahnya nilai tukar rupiah. “Terutama karena ekonomi AS semakin membaik sehingga itu membuat nilai tukar dolar semakin menguat,” kata Agusman kepada BBC Indonesia, Selasa (08/05).
Dengan naiknya tingkat suku bunga, maka AS akan menjadi tempat yang ‘lebih menguntungkan’ untuk berinvestasi. Alhasil, investor yang sebelumnya menanam dana di berbagai negara, termasuk Indonesia, memindahkan investasinya ke AS.
Maret lalu, Bank Sentral Amerika menaikkan tingkat suku bunganya dari 1,5% menjadi 1,75%. Kenaikan diprediksi akan terjadi lagi pada Juni 2018. Nilai tukar rupiah diproyeksi akan menyentuh Rp14.200 pada akhir tahun.
Sementara itu, pengamat ekonomi Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), Bhima Yudistira Adhinegara, mengungkapkan bahwa menguatnya dolar juga karena ‘faktor musiman’ perusahaan, yang cenderung membagi dividen (laba untuk pemegang saham) pada bulan April-Mei. “Karena porsi investor asing kita di pasar modal cukup besar, maka ketika dapat dividen, investor asing cenderung mengonversinya menjadi dolar,” tuturnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan kedua yang tidak sesuai target disebut sebagai salah satu sentimen negatif. Bhima juga menambahkan pengumuman data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan pertama 2018 yang tidak sesuai target, juga menyumbang sentimen negatif kepada para investor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tiga bulan pertama 2018 adalah 5,06%, di bawah proyeksi berbagai pihak, yaitu 5,19%. “Negara ASEAN lain lebih bagus pertumbuhan ekonominya. Bahkan Vietnam 7,3%,” tegas Bhima.
Apa dampaknya? Perlukah khawatir?
Kenaikan harga bahan makanan pokok adalah salah satu dampak yang disebut Bhima akan paling dikhawatirkan masyarakat menyusul pelemahan nilai tukar rupiah. “Karena beberapa bahan kebutuhan pokok diambil dari impor. Biaya impor akan jadi lebih mahal. Padahal sebentar lagi Ramadan dan Lebaran.”
Kenaikan harga sembako adalah salah satu dampak yang paling dikhawatirkan. Bhima menyebut banyak bahan pokok di Indonesia, misalnya garam, gula, beras, dan daging sapi memiliki komponen impor yang cukup besar. “Yang paling saya khawatir itu bawang putih. Itu 85% impor… Apalagi kalau mau kita impor, sekarang harga minyak tinggi, bayarannya pakai dolar karena kita pakai kapal asing sehingga biaya logistik juga jadi besar,” tegas Bhima.
Namun, Bank Indonesia menegaskan masyarakat tidak perlu khawatir, karena fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat. Meskipun pertumbuhan ekonomi triwulan 1 ‘hanya’ 5,06%, Agusman dari Bank Indonesia menganggap pertumbuhan ‘itu tetap bagus’.
Bank Indonesia menegaskan pemerintah harus menjamin distribusi sembako agar pelemahan nilai tukar tidak berdampak masif. Dia menekankan yang perlu dilakukan pemerintah untuk menjaga harga bahan pokok tetap stabil adalah menjamin distribusinya tetap terjaga. “Dan selama ini terbukti pasokan terjaga baik. Kita mohon pada semua pelaku ekonomi menjaga situasi kondusif, sehingga tidak akan memberikan dampak bahaya bagi konsumen.”
Sampai kapan pelemahan terjadi?
Mengingat Bank Sentral Amerika akan menaikkan kembali tingkat suku bunganya pada bulan Juni, dengan total tiga sampai empat kali kenaikan sepanjang 2018, INDEF memprediksi ‘sulit bagi rupiah untuk membaik dalam waktu dekat’. “Kita prediksi nilainya akan tembus sampai Rp14.200 per satu dolar,” tutur Bhima.
Rupiah diprediksi sulit kembali ke nilai fundamentalnya. Tidak hanya itu, dia menekankan kecil kemungkinan rupiah kembali ke nilai fundamentalnya, yaitu di angka Rp13.200 – Rp13.300 untuk setiap satu dolarnya. “Jadi pelemahan kali ini agak panjang, sampai enam hingga sembilan bulan ke depan,”
Asian Games pada Agustus mendatang diharapkan semakin menggairahkan perekonomian Indonesia. Meskipun begitu, dia melihat berbagai even besar yang akan berlangsung di Indonesia sepanjang tahun ini, termasuk Asian Games, “tetap akan bisa menjadi sentimen positif untuk mendongkrak nilai tukar rupiah.
“Tapi untuk kembali ke posisi Rp13.300 itu akan sulit… Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan tahun 2015, sekarang ini masih terkendali. Pada 2015 kita pernah mencapai Rp14.700 per dolar.”
Apa yang bisa dilakukan?
Bhima dari INDEF menyarankan agar Bank Indonesia segera menaikkan tingkat suku bunga acuannya, sebesar 25 hingga 50 basis poin, sehingga investasi di dalam negeri menjadi lebih menggiurkan, dan hasilnya, menahan agar dana asing tidak terus keluar. Meskipun begitu, Bank Indonesia tidak mau memberikan kepastian apakah akan segera menaikkan tingkat suku bunganya.
“Nanti kita akan lihat hasil kajiannya seperti apa. Tergantung semua kajian, lalu akan diputuskan apa. Kami tak bisa mendahului. Rapat baru 16 dan 17 Mei nanti,” tegas Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Agusman Zainal.
Selain itu, Bhima juga mendesak pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, terutama pada triwulan kedua 2018. Kalau pertumbuhan ekonomi triwulan kedua mencapai 5,2% atau konsumsi rumah tangga naik, di situ kepercayaan diri untuk berinvestasi dan berbelanja akan meningkat,” kata Bhima.
Sementara Agusman dari Bank Indonesia menyebut mereka akan mendesak pemerintah untuk menjaga iklim ekonomi tetap kondusif. “Karena yang banyak keluar saat ini adalah arus modal jangka pendek. Sementara yang jangka panjang tetap tinggal, tetap bertahan lama. Kita harus pertahankan itu,” pungkasnya. (cnn/jun)